Mudik Jangan Lagi Berdarah 
HIRUK-pikuk ritual mudik Lebaran baru saja usai. Puluhan juta orang kini memenuhi kampung halaman. Sebagian dari mereka sudah bersiap-siap balik ke kota-kota tempat mereka mengadu nasib. Tapi banyak yang tidak bisa kembali. Ada yang ‘mudik’ untuk selamanya. Ada yang terpaksa menetap karena cacat fisik akibat kecelakaan lalu lintas.

Mudik masih berdarah-darah. Bahkan cenderung bertambah parah. Arus mudik Lebaran 2012 telah menelan begitu banyak korban. Data resmi 11 – 21 Agustus menunjukkan 638 pemudik tewas, 994 orang luka berat, dan 3.444 orang luka ringan. Total kerugian material selama 11 hari itu mencapai Rp7,4 miliar.

Seperti biasa, kecelakaan didominasi para pemudik bersepeda motor. Tercatat 3.881 unit sepeda motor terlibat dalam kecelakaan, meningkat 17% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Peringkat kedua ditempati mobil penumpang (885 unit), mobil barang (536 unit), dan bus (198 unit).

Angka-angka tersebut menunjukkan buruknya potret arus mudik Lebaran. Angka kematian dan luka-luka setinggi itu dalam rentang waktu hanya 11 hari harus disikapi dengan lebih bijak dan kritis. Ini tak bisa lagi dianggap kecelakaan. Seharusnya kita menganggapnya sebagai bencana.

Suka atau tidak suka, fokus pembahasan tentang faktor-faktor penyebabnya harus diperluas lagi. Fokus pada faktor-faktor konvensional seperti pemakai jalan, kondisi kendaraan, dan infrastruktur tidak akan menyelesaikan persoalan. Faktanya, perbaikan jalur-jalur arus mudik yang dilakukan setiap menjelang Lebaran, perbaikan indeks pembangunan manusia (IPM) pemudik, dan kemajuan teknologi kendaraan bermotor yang terus berkembang tidak membuat jumlah korban menurun.

Faktor-faktor tersebut jelas tak boleh diabaikan karena kondisinya memang masih memprihatinkan. Namun, yang sering kita lupakan adalah fakta bahwa para pengguna kendaraan tidak punya cukup pengetahuan tentang benda yang mereka kendarai. Dengan SIM yang mereka dapatkan dengan cara ‘menembak’ atau dengan hanya bermodalkan sedikit hafalan tentang rambu lalu lintas ketika ikut tes, terlalu naif berharap jalan-jalan bisa aman. Sejatinya ketika ikut tes permohonan SIM, mereka juga dibekali dengan pengetahuan tentang keterbatasan-keterbatasan kendaraan yang akan mereka gunakan.

Yang juga patut kita pertanyakan, apakah hukum boleh absen selama Lebaran? Apa yang menjadi landasan hukum untuk tidak memberlakukan Undang-undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UULLAJ) Nomor 22 Tahun 2009 dari H-7 hingga H-7?

Membiarkan jalan-jalan tanpa hukum selama 14 hari adalah tindakan terbodoh yang dilakukan sebuah negara, yang notabene negara hukum. Kita berharap ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Ingat, Lebaran adalah hari untuk berkumpul dan bergembira ria bersama sanak keluarga. Bukan hari untuk berduka!

*Tulisan Fokus InilahKoran, Jumat (24/8/2012)
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

 
Info Jabar © 2013.
Top